Pilih Laman

    Laman Utama / Batik Indonesia – Sejarah Batik Indonesia

Sejarah Batik Indonesia

Kenali Esensi Batik sebagai Warisan Budaya Takbenda!

Perjalanan Panjang Batik dalam Peradaban Dunia

 

Warisan wastra batik telah meresapi kehidupan masyarakat Indonesia sejak abad ke-5. Selama berabad-abad, Batik telah menjadi simbol yang menggambarkan perjalanan besar kehidupan manusia: kelahiran, pernikahan, dan kematian. Teknik pewarnaan rintang malam yang menjadi ciri Batik sebagai warisan budaya takbenda telah ada sejak 5000 SM.

Photo: Borobudur 

Tahap Pertama :

Batik Tertua

5000 SM – 5 M

Batik dibuat dengan teknik pembuatan khusus yang dinamakan teknik pewarnaan rintang malam (wax-resists dyeing). Teknik ini telah digunakan di wilayah di sepanjang jalan perdagangan antara Mesir dan India. Kain indigo berlapis lilin malam yang ditemukan di makam Firaun dengan catatan periode sejak 5 SM menandakan bahwa lilin malam telah digunakan dalam produksi tekstil pada zaman kuno. Tekstil Batik tertua di nusantara ditemukan di Kabupaten Toraja di pulau Sulawesi. Artefak batik tersebut diperkirakan sejak abad ke-5 Masehi. Asumsi tentang bagaimana teknik pewarnaan rintang malam ini masuk dan ditransmisikan dari luar nusantara masih menjadi bahan perdebatan. Pada titik ini, para sejarawan berpendapat bahwa beberapa wilayah tertentu di seluruh dunia mungkin telah mengembangkan teknik produksi tekstil mereka sendiri, termasuk penggunaan teknik pewarnaan rintang malam.

Tahap Kedua:

Jalur Sutra Asia

Abad ke – 5 hingga 8 M

Periode kedua dimulai dari abad pertama hingga abad ke-8. Beberapa temuan arkeologis tekstil menunjukkan bahwa teknik pewarnaan rintang malam juga digunakan di beberapa daerah di Asia, seperti di Cina dan Jepang. Di Cina, penggunaan teknik pewarnaan rintang malam telah dipraktikkan oleh pengrajin dalam periode Dinasti Han (221-206 SM) dan Dinasti Sui (581-618 M). Hingga saat ini etnis minoritas Cina seperti suku Miao, Bouyei dan Gejia di provinsi Guizhou masih menggunakan pewarnaan rintang malam untuk memproduksi tekstil tradisional mereka. Teknik pewarnaan tahan malam secara besar-besaran diadopsi oleh pengrajin tekstil kuno selama Periode Nara (710-785) dan Periode Heian (795-1185).

Wanita Wuji, suku Miao, China (photo: Arian Zwegers)

Tahap Ketiga:

Jalur Sutra Maritim

Abad ke – 8 hingga 15 M

Pada abad ke-8 Masehi,  koneksi perdagangan telah terbangun dengan Gujarat, India hingga ke Selat Malaka. Pada periode ini, banyak kerajaan kerajaan yang ada di nusantara melakukan perdagangan tekstil dengan pedagang dari India, Arab, dan Gujarat.

Istilah Batik pun telah dikenal di pulau Jawa sejak abad ke – 8 Masehi. Dalam kitab kuno Jawa berjudul Kakawin Ramayana (periode Hindu-Budha tahun 870 M), Batik tersusun oleh kata “Tika”, yang berarti lukisan suci. Batik juga berasal dari kata-kata Jawa, “Amba” berarti lebar, dan “Titik” berarti (membuat) titik-titik untuk membentuk garis. Batik juga memiliki makna lain yang merujuk pada ungkapan Jawa: “Mbatik Manah”, yang berarti melukis dengan sepenuh hati.

Photo: News.Detik

Sultan Pakubuwana X, Kesultanan Surakarta (Photo: Wikiwand)

Tahap Keempat:

Era Kolonialisme

15th – 19th Century

Munculnya kerajaan-kerajaan Islam mempengaruhi konsepsi motif Batik dan makna filosofisnya. Makna Batik tertentu yang merujuk pada nilai agama Hindu / Budha diadaptasi kembali ke dalam konsep ketuhanan agama Islam. Esensi dari motif tradisional tetap sama. Namun, gagasan nilai-nilai agama dan aturan pemakaian sedikit berubah sesuai dengan kebiasaan sosial dan hierarki sosial di era itu. Sejak abad ke-18 hingga ke-20, Batik menjadi komoditas tekstil yang penting bagi Afrika dan Eropa pada masa VOC Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie – VOC), Dari beberapa bukti sejarah, para sejarawan berasumsi bahwa teknik Batik disebarkan oleh para kolonial Eropa ke bagian lain dunia. .

Sejak abad ke-16, istilah “Batik” menjadi kata yang populer di dunia untuk menyebut tekstil yang diproduksi dengan teknik rintang malam. 

Tahap Kelima:

Praktek Budaya yang Mendunia

Abad ke-19 hingga sekarang

Penyebaran teknik pembuatan Batik selama berabad-abad menjadikannya sebagai praktik budaya umum yang merekatkan jalinan hubungan antara negara-negara di Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei, Myanmar (Burma), Kamboja, dan Laos). Melalui partisipasi publik Indonesia, Batik berhasi dinobatkan sebagai warisan budaya takbenda kemanusiaan UNESCO pada tahun 2009. Penobatan ini dicapai berkat bukti keaslian dan nilai-nilai budaya yang luar biasa yang tertanam dalam warisan tekstil Batik. Nilai-nilai luar biasa yang melekat itu adalah:

(i) Teknik produksi yang bersejarah,

(ii) Ekspresi budaya dengan makna sosial-budaya yang penting terkandung dalam setiap motif batik

(iii) Aturan pemakaian khusus, dan

(iv) Karakteristik pemberdayaan sosial yang kuat pada tradisi membatik.

Saat ini praktek budaya batik meningkat secara nasional dan juga menjadi inspirasi banyak praktisi seni kerajinan kain di tingkat global. Pada tahun 2015, Batik telah menjadi mata pencaharian inti bagi 47.775 UKM UKM di Indonesia dan 199.744 orang (pengrajin, desainer lokal, dll.). Penobatan Batik sebagai warisan budaya Takbenda UNESCO pada tahun 2009 menjadi tanggung jawab bersama di antara para pemangku kepentingan nasional / internasional untuk melindungi makna serta nilai-nilai luar biasa yang melekat pada warisan wastra ini untuk generasi mendatang.

References
  • Druding, S.C. (1982). Dye history from 2600BC to the 20th century. In: Bi-annual gathering of
    Weavers, dyers, and spinners. Convergence.
  • Hitchcock, M. & Nuryanti, W. (2000). Building on Batik: The globalization of a craft community. Routledge, 236.
  • Lestari, N.S. (2012). Serat Prawan Mbathik: Suatu kajian filosofi Jawa dalam proses membatik [Ancient manuscript of Serat Prawan Mbathik: an analysis of Javanese
    philosophy in Batik making process]. In 5th International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS).
    University of Indonesia, Yogyakarta.
  • Supriono, Y.P. (2017). Ensiklopedia The Heritage of Batik Identitas Pemersatu Kebanggaan Bangsa. Andi, Yogyakarta.
  • Permatasari, P. A., & Cantoni, L. (2019). Indonesian Tourism and Batik: An Online Map. E-review of Tourism Research, 16.
  • The Hindu magazine homepage. https://www.thehindu.com/thehindu/mag/2004/06/20/
    stories/2004062000500700.html. 
  • Wronska-Friend, M. (2016). Batik Jawa Bagi Dunia/Javanese Batik to the World. Komunitas Lintas Budaya Indonesia/Indonesian Cross-Cultural Community.
  • Yunus, U., & Tulasi, D. (2012). Batik Semiotics as a media of communication in Java. Cultura, 9(2), 143-150.